Postingan

Yang Tak Bertepi

Dalam suatu perjalanan, ia mematut dirinya di hadapan sebuah cermin. Berdiam diri cukup lama memandangi pantulan wajahnya yang telah berubah sendu. Matanya menatap penuh kegundahan. Hatinya berbisik teramat pelan. Membawa kesadarannya jauh menjelajah waktu. Pikirannya ikut terhanyut. Dalam bayangannya, ia menangis tersedu. Mengiba pada Tuhan tentang hatinya yang remuk redam diterpa banyak aral dan gelombang. Mengapa hidup begitu kejam menginjak harga dirinya? Mengapa keadilan Tuhan tidak pernah berkehendak pada takdirnya? Ia merutuk keadaan dengan begitu emosional. Namun senyap.  Sudut kepalanya terus dijejali oleh perkara harga diri. Bongkahan hatinya berbicara dengan keyakinan diri.  "Apa yang akan kamu jaminkan?" "Apa yang kamu punya untuk menyelamatkan?" Dua pertanyaan yang membuatnya tersadar. Ia harus melanjutkan hidup demi menyelamatkan. Separuh hidupnya. Ia harus. Perjalanannya kali ini teramat sangat lambat. Dalam diam yang menyiksa relung jiwa seiring deng

Minggu Terakhir di Februari

Gambar
about this picture Minggu pagi di penghujung Februari matahari entah dimana berada. Hujan yang mengguyur Bogor dan sekitarnya sedari subuh tadi sepertinya membuat semua orang betah berlama-lama dalam balutan selimut. Nur namanya, gadis bergigi gingsul itu sudah nampak sibuk pagi ini. Ia sibuk sejak subuh tadi menyiapkan segala keperluannya untuk kegiatannya sebagai aktivis sosial.  "Emang engga bisa dibatalkan acaranya hari ini Kak ?" Tanya ibu sambil menyodorkan sepiring nasi goreng yang masih hangat. "Engga bisa Bu, Kakak sudah membuat janji akan datang hari ini. Anak-anak di sanggar sudah menanti sejak kemarin. Karena baru hari ini Kakak ada waktu kosong". Jawab Nur yang masih sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas hitamnya. " Tapi kan Kakekmu lagi sakit Kak, kita tidak tahu umur seseorang itu sampai dimana". Tiba-tiba Ibu memasang wajah sedih seperti mengetahui sesuatu hal yang tak terpikirkan oleh Nur. "Hush Ibu ko bicara begitu

Sisa Hujan Semalam

Gambar
Mendung masih menggelayuti langit saat pagi menyapa. Tak nampak sinar mentari di langit fajar. Sisa hujan semalam masih merebak di antara rimbunan daun yang diguncang angin. Bulir-bulir bening berjatuhan. Bukan embun.  Pagi itu, guratan senyum melengkung dari bibirnya. Wajahnya tak lagi muda. Dari keningnya guratan-guratan renta menghias cantiknya. Kuning langsat kulitnya nampak berseri. Entahlah mata ini seperti enggan memalingkan pandangan.  Bersama riang tawa dari malaikat-malaikat kecil, ia bahagia. Aku pun begitu. Melihatnya tertawa aku seolah menemukan kedamaian dan ketenangan. Karena ia bahagia. Sesak dadaku seolah hilang, seperti hujan semalam yang membawa rinduku mengalir jauh pergi. Pagiku bak pelangi selepas badai. Dingin yang menyelinap lewat pori-pori kecil itu perlahan hilang disapa hangat.  Hujan kerinduan semalam membawaku jatuh dalam kenangan tak bertepi. Memori masa lalu setia menuntunku untuk menjamahnya kembali. Tokoh-tokoh dalam kisahku dimasa lalu bermu

Rindu Yang Terbuang

Gambar
Kayu yang mulai rapuh dimakan waktu Dinding-dinding bilik yang mulai keluar dari ikatan kuat sebuah anyaman Atap-atap yang lelah diterpa segala cuaca yang berubah-ubah Lantai tak berkeramik yang dingin oleh tanah Saksi bisu sebuah kisah Sebuah ujian, terpaan kehidupan Mereka tak bicara, diam, hanya diam Hanya mendengar, mungkin merasakan Ujian pendewasaan, memaknai arti sebuah kehidupan Segala badai kehidupan yang hampir menuntunnya pada sebuah keretakan Ah terlalu muluk ! Oh tidak ! Bahkan masih belum seberapa Emosi, ambisi, terlalu keras untuk mereka yang hanya mampu mendengar Mimpi, setiap tetes harapan Secuil kebahagiaan yang terlintas Menerobos paksa dari lubang-lubang cahaya Mereka bertanya Dalam kebisuan nyata yang tak dihadirkan sebuah jawaban Disana... Terbang bersama asap kepedihan Melewati setiap celah kecil yang bahkan tak terlihat oleh mata Amarah dari setiap kekecewaan Membusuk dan membatu Mereka bahkan tak berbicara Saat sang jiwa bertany

Anggrek dan Nadia

Gambar
Fajar mulai beranjak naik. Perlahan tapi pasti. Bersinar diujung timur. Kemerahan. Langit seketika mulai benderang. Warna kebiruan mulai nampak menghias pandangan. Hawa sejuk mulai menyapa. Membelai lembut dedaunan yang masih basah oleh embun pagi. Kicau burung samar-samar terdengar dari kejauhan. Suara gemericik air tak kalah indah. Seperti melodi pengawal hari yang dimainkan penuh harmoni. Aku hanya menarik nafas panjang. Beruntungnya aku pagi ini, mampu menikmati pemandangan lukisan Tuhan yang tercipta begitu sempurna. Tanpa kurang sedikit pun. Cahaya dari bintang-bintang malam mulai berpendar terbias oleh terangnya fajar. Bulan sabit ditepi barat masih nampak meski terlihat seperti terbuat dari kapas. Waktu bergulir perlahan. Detik demi detik seperti telah diatur untuk berputar perlahan. Mengimbangi harmoni yang sedang dimainkan oleh alam ini.  Ku rentangkan kedua tangan perlahan. Senyumku mengembang. Kedua mataku ku pejamkan untuk menikmati udara pagi ini. Ingin ku inga

Cahaya Di Atas Luka

Hanya sebaris luka.Hanya setetes air mata. Hanya sebatas duka. Menyayat kalbu. Merintih pilu. Menahan malu.Aku dengan hidupku, tak ingin orang lain tau. Biar saja menjadi rahasia antara aku dan Tuhan ku. Masa lalu memberikannya kekuatan untuk terus bangkit. Meski jalan hidup ini penuh liku. Tidak seperti kertas putih yang suci belum ternoda oleh goresan tinta hitam. Pertikaian orang tua, keadaan ekonomi yang menghimpit hidup, sudah menjadi pengalaman pahit untuk seorang anak gadis yang masih duduk di bangku SMP kelas 3 ini. Masa yang seharusnya indah dan penuh canda tawa malah menjadi kenangan pedih yang harus dialaminya. Keadaan memaksa pikirannya untuk dewasa lebih cepat. Sebagai anak sulung, Ia harus bisa melewati ujian ini meski usianya saat itu masih belia. Senyum-senyum palsu menjadi tameng untuk menutupi luka yang menyayat hatinya. Pertanyaan-pertanyaan mulai hadir dan berkecamuk didalam pikirannya. Mengapa begini ? Mengapa harus kulalui semua ini ? Mengapa Tuhan begitu

Ayah, Kau Tahu...

Gambar
iri rasanya melihat mereka yang mampu mencurahkan segenap kasih sayangnya padamu setelah kedudukan ibu yang 3 kali di atas mu iri rasanya melihat mereka yang menerima besarnya cinta dan kasih dari seorang ayah iri rasanya kala melihat mereka mendapat pelukan kasih sayang dari sosok berwibawa yang benama ayah iri rasanya kala mendengar cerita kedekatan mereka dengan sosok ayah iri rasanya kala senyum bahagia terpancar dari sosok seorang ayah karena kehadiran putra putrinya iri rasanya kala senandung cinta dan kasih itu mengalun ditengah keluarga yang bahagia iri rasanya aku iri mengapa tak ku dapat yang semua itu dari sosok mu ? mengapa malah kebencian yang kau hadirkan diantara kami ? mengapa malah emosi yang ku hadapi kala berhadapan dengan mu ? mengapa malah amarah yang menguasaiku kala melihat mu ? mengapa malah air mata yang kau beri kepada kami ? mengapa malah luka yang yang goreskan di hati kami ? mengapa tak ada sedikit pun kasihan itu hadir dalam hati mu