Minggu Terakhir di Februari


Minggu pagi di penghujung Februari matahari entah dimana berada. Hujan yang mengguyur Bogor dan sekitarnya sedari subuh tadi sepertinya membuat semua orang betah berlama-lama dalam balutan selimut. Nur namanya, gadis bergigi gingsul itu sudah nampak sibuk pagi ini. Ia sibuk sejak subuh tadi menyiapkan segala keperluannya untuk kegiatannya sebagai aktivis sosial. 
"Emang engga bisa dibatalkan acaranya hari ini Kak ?" Tanya ibu sambil menyodorkan sepiring nasi goreng yang masih hangat.
"Engga bisa Bu, Kakak sudah membuat janji akan datang hari ini. Anak-anak di sanggar sudah menanti sejak kemarin. Karena baru hari ini Kakak ada waktu kosong". Jawab Nur yang masih sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas hitamnya.
" Tapi kan Kakekmu lagi sakit Kak, kita tidak tahu umur seseorang itu sampai dimana". Tiba-tiba Ibu memasang wajah sedih seperti mengetahui sesuatu hal yang tak terpikirkan oleh Nur.
"Hush Ibu ko bicara begitu. Kakak selalu do'akan yang terbaik kok untuk Kakek. Walau sampai hari ini belum sempat menengok beliau. Kakak juga sebenernya pengen banget bertemu Kakek, Bu. Nanti insya Allah selepas pulang dari sanggar, Kakak akan menemui beliau". Kata Nur sambil menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.
"Ya sudah kalau begitu. Biar nanti Ayah dan Ibu yang akan pergi ke rumah Kakek mu duluan. Kamu menyusul ya". Balas ibu dengan nada sedikit kecewa. 
Memang beberapa hari ini kondisi Kakek mulai menurun setelah membaik minggu lalu. Penyakit diabetes yang dideritanya sejak 10 tahun lalu itu kini mulai menggerogoti tubuhnya yang sudah renta. Jarak rumah Nur dan Kakeknya tinggal memang hanya berjarak beberapa rumah. Hanya saja, karena aktivitasnya yang padat, membuat Nur sering pulang saat matahari sudah di peraduan. Tak jarang ia juga menengok keadaan Kakek yang dikasihinya tersebut seraya membawakan beberapa makanan. Karena kini hanya tinggal dengan Paman yang memang belum menikah. 
"Ya sudah, Bu. Nur berangkat dulu ya. Salam sama Kakek. Assalamu'alaikum". Nur pamit setelah menghabiskan sarapannya terlebih dulu. Lalu menggapai tangan Ibu dan menciumnya dan berlalu pergi. 
" Wa'alaikumsalam. Hati-hati Kak di jalan. Dan cepat pulang". Jawab Ibu melepas kepergian putri sulungnya itu keluar rumah. 
Nur hanya menengok sesaat ke arah rumah Kakek yang masih tertutup. Mungkin masih tidur, batin Nur. 

***
Suasana sanggar sudah mulai ramai oleh anak-anak asuh Nur yang sedari tadi menunggu kedatangannya. Sanggar ini didirikannya bersama keempat sahabat satu komunitasnya di komunitas pecinta buku. Ada Ali, Layla, Linda, Eri, dan tentu saja Nur. Kelimanya dipertemukan saat ada pertemuan para pecinta buku wilayah Bogor. Karena kecintaan yang sama pada buku membuat mereka melahirkan ide membuat sanggar untuk anak-anak di daerah kurang tersentuh seperti sekarang. 
Kegiatan sanggar yang diadakan setiap hari minggu ini membuat Nur selalu menghabiskan waktu liburnya bersama anak-anak asuhnya di beberapa tempat. Sanggar ini memang diadakan dengan konsep keliling dan terjadwal. 

"Ayo siapa yang mau mendengarkan Kakak Ali mendongeng". Ali memulai kegiatan sanggar dengan keahliannya mendongeng. Linda, Layla dan Eri tengah mempersiapkan buku-buku yang disusun di atas rak yang dibuat dari hasil tangan kreativ Linda. Nur mengikuti mereka seraya bercengkrama hangat dengan ketiganya. 
"Nur untuk kegiatan minggu depan sudah disusunkah rangkaian acaranya ?" Tanya Linda sembari menaruh buku-buku di atas rak. 
"Sudah Lin, tinggal menunggu keputusan Kak Layla dan Kak Ali untuk di revisi jika ada yang kurang pas". Jawab Nur. 
Tiba-tiba handphone yang ada dalam sakunya serasa bergetar. Ada nama Ibu tertera di layar. Ada apa Ibu menelpon, tumben. Gumam Nur lantas menggeser tombol berwarna hijau itu ke kanan. 

"Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa menelpon ?" tanya Nur keheranan. Karena tak biasanya Ibu menelpon jika tahu Nur sedang beraktifitas di luar selain ada kabar yang sangat penting. 
"Wa'alaikumsalam Kak. Kakekmu, Kak. Ayo segera pulang. Kakekmu sudah berpulang". Jawab Ibu dengan nada terisak di seberang sana.
Seketika dadanya terasa sesak, dan pelupuk matanya mulai digenangi air mata. Linda yang memperhatikan lantas bertanya keheranan. "Ada apa Nur ? Ko menangis ?" Tanya Linda sambil merengkuhnya. 
"Kakek Lin. Kakek meninggal". Jawab Nur setengah tersedu. " Innalillahi wa inna ilaihi roji'un". Linda mengucapkan kalimat belasungkawa seraya memeluk Nur yang sedari tadi menangis kehilangan. 
Nur bergegas merapikan tasnya dan pamit pada Linda, Layla dan Eri. Kak Ali masih sibuk dengan dongengnya tak mengetahui Nur pamit. "Hati-hati di jalan Nur. Insya Allah selesai kegiatan di sanggar kami akan menyusul. Semoga beliau di tempatkan disisi-Nya yang terbaik". Layla mengantarkan Nur sampai ke pintu depan. 

***
Suasana rumah Kakek sudah mulai dipadati para pentakziah. Bendera kuning sudah berkibar sejak nur memasuki gang menuju rumahnya. Beberapa orang memperhatikan kedatangan Nur dengan wajah iba dan haru. Nur semakin deras dalam tangisnya. 
Langkahnya terhenti di depan pintu masuk rumah Kakek. Kedua tangannya mengatup mulutnya yang sedari tadi tak berkata sepatah katapun. Airmata deras mengalir melewati pipinya yang kemerahan. Ibu menghampirinya dan memapahnya berjalan menuju jenazah Kakek yang sudah di balut kain terakhirnya. Nur tak kuasa menahan sedihnya kehilangan. Ia hanya mampu menatap tanpa berkata. Ia tenggelam dalam pelukan hangat Ibu yang juga menangis kehilangan. Paman Nur memeluk keduanya dengan haru. Ayah mengikuti ketiganya sambil mengusap punggung Paman dan Ibu. 
Kakek, maafkan Nur tak sempat menengokmu walau sebentar. Dan kini Allah lebih menyayangimu. Semoga Kakek bahagia di sisi-Nya. Nur sayang Kakek. Rintihnya dalam hati.
Gerimis yang menetes dari langit seperti alam yang ikut menangis karena kepergian Kakek. Tanah merah yang nampak basah menyambut satu lagi makhluk-Nya menuju tempat peristirahatan terakhir. 
Bersama iringan do'a semoga kelak kita dipertemukan kembali di surga.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisa Hujan Semalam

Anggrek dan Nadia