Yang Tak Bertepi

Dalam suatu perjalanan, ia mematut dirinya di hadapan sebuah cermin. Berdiam diri cukup lama memandangi pantulan wajahnya yang telah berubah sendu. Matanya menatap penuh kegundahan. Hatinya berbisik teramat pelan. Membawa kesadarannya jauh menjelajah waktu. Pikirannya ikut terhanyut.

Dalam bayangannya, ia menangis tersedu. Mengiba pada Tuhan tentang hatinya yang remuk redam diterpa banyak aral dan gelombang. Mengapa hidup begitu kejam menginjak harga dirinya? Mengapa keadilan Tuhan tidak pernah berkehendak pada takdirnya? Ia merutuk keadaan dengan begitu emosional. Namun senyap. 

Sudut kepalanya terus dijejali oleh perkara harga diri. Bongkahan hatinya berbicara dengan keyakinan diri. 

"Apa yang akan kamu jaminkan?"

"Apa yang kamu punya untuk menyelamatkan?"

Dua pertanyaan yang membuatnya tersadar. Ia harus melanjutkan hidup demi menyelamatkan. Separuh hidupnya. Ia harus.

Perjalanannya kali ini teramat sangat lambat. Dalam diam yang menyiksa relung jiwa seiring dengan gelisahnya yang begitu kentara. Konsentrasi amat sulit didapat dalam situasi macam ini. Ia perlu strategi dan amunisi untuk melancarkan aksi.

Kepalanya berpikir tanpa henti. Padahal entah dimana pusat fokusnya saat ini. Pikirannya hanya membayangkan kengerian yang akan dihadapi. Sebab ia begitu memahami kekuatan diri. 

Apalah diri jika dibandingkan dengan yang akan dihadapi. Sesekali ia merutuk dan menyesali sendiri. Nasib oh nasib. Begini jadi pesakitan tak tahu diri.

Sudahlah menantang atas nama harga diri, nyatanya memang tak seujung kukupun ia miliki.

***

Kakinya menjejakkan aspal penuh keyakinan. Bahwa ia bisa menghadapi segala halang rintang di depan. Meski sesekali kepercayaan dirinya menguap bersama udara panas di jalanan. Medan pertempuran yang akan ia hadapi entah sepanas apa rasanya nanti. Tidak ingin berimajinasi lebih, kepalanya ia sadarkan dari lamunan.

Bising kendaraan menemani sepanjang jalan yang ia lewati. Hilir mudik tiada henti menjadi panorama yang menusuk mata karena kecepatannya. Begitulah waktu yang perputarannya tiada henti. Bumi seolah tak pernah mati. Aktivitas makhluk di dalamnya yang seakan terus bervariasi.

Langkahnya terhenti. Sebelum memasuki tujuan akhir, matanya lekat menatap di kejauhan. Keramaian yang asing dan mendebarkan.

Jantungnya berpacu dengan waktu. Ayunan kakinya melaju.

Keheningan menyeruak relung terdalamnya.

Kebekuan menyentak laju darahnya.

Raganya mematung sejenak.

Mencerna keadaan yang dalam sekejap menyadarkannya.

Lututnya bersimpuh. Lumpuh.

Gemuruh dalam dada tidak lagi tertahan.

Ia memecah kerumunan.

Menyayat hati para pendengar.

Tuhan benar tidak berkehendak. Barang sedetik saja pada dirinya yang telah jatuh dalam keterpurukan. Tuhan begitu tega pada takdirnya. Tuhan teramat kejam pada kelemahannya. Tuhan, mengapa tidak sekalian saja? Teriaknya dengan penuh penekanan.

Mata-mata mengiba memandangnya. Telinga-telinga mereka merasai keperihannya. Yang lemah menuruti hatinya. Yang berpura-pura kuat, menahan dengan segenap harga dirinya. Biar Tuhan yang menilai ketulusannya. Itu saja.

***

Memahami makna dibalik arti kehilangan. Ia menyeka sudut matanya yang tak henti menggenang. 

Air mukanya tak juga bersinar. Ia dalam kedukaan yang teramat dalam. 

Separuh hidupnya telah berpulang. Menyusuri takdir dengan penuh kemenangan. 

Sedang ia meratapi kesendirian. Yang berpulang adalah raga, tapi mengapa kenangannya terus menetap dalam keperihan. 

***

Serupa takdir kehilangan, separuh rumahnya yang dulu nyaman ikut tenggelam. Nada-nada kehidupannya telah lama sumbang sebelum ajal itu datang. 

Kaki-kaki yang dulu kuat berpijak, kini lumpuh hanya untuk sekedar bersimpuh. 

Kehilangan menyisakan sesak yang mendesak. Sepi membawa rindu yang juga pergi tanpa permisi. 

Memahami rindu yang tidak bertepi. 

Memaknai pergi yang takkan kembali. 

Ia kini sendiri. 

Menikmati malam-malam dalam gulita hati. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu Terakhir di Februari

Sisa Hujan Semalam

Anggrek dan Nadia