Sisa Hujan Semalam

Mendung masih menggelayuti langit saat pagi menyapa. Tak nampak sinar mentari di langit fajar. Sisa hujan semalam masih merebak di antara rimbunan daun yang diguncang angin. Bulir-bulir bening berjatuhan. Bukan embun. 
Pagi itu, guratan senyum melengkung dari bibirnya. Wajahnya tak lagi muda. Dari keningnya guratan-guratan renta menghias cantiknya. Kuning langsat kulitnya nampak berseri. Entahlah mata ini seperti enggan memalingkan pandangan. 
Bersama riang tawa dari malaikat-malaikat kecil, ia bahagia. Aku pun begitu. Melihatnya tertawa aku seolah menemukan kedamaian dan ketenangan. Karena ia bahagia.
Sesak dadaku seolah hilang, seperti hujan semalam yang membawa rinduku mengalir jauh pergi. Pagiku bak pelangi selepas badai. Dingin yang menyelinap lewat pori-pori kecil itu perlahan hilang disapa hangat. 
Hujan kerinduan semalam membawaku jatuh dalam kenangan tak bertepi. Memori masa lalu setia menuntunku untuk menjamahnya kembali. Tokoh-tokoh dalam kisahku dimasa lalu bermunculan seperti sebuah serial beralur mundur. 
Suaraku tercekat di tenggorokan. Parau. Sesekali ku seka air mata yang menangalir hangat di pipi. 

"Jangan berjanji andai kau tak dapat menepati". Sergahku cepat saat ia menatapku penuh iba. "Maafkan aku. Aku tak ingin membuatmu terluka. Juga tak ingin membuat siapapun terluka. Kau dan dia, sama-sama menempati relung hatiku. Mengertilah. Ku mohon mengerti. Jangan marah dan memberiku ekspresi kebencian". Katanya dengan nada penuh penyesalan.
Aku menghela nafas dalam. Mencoba mencari ketenangan. Aku membalasnya dengan satu senyum penuh ketabahan. Ketabahan ? Ah tidak-tidak, aku memang tak pernah menaruhnya dalam hatiku. Aku hanya menganggapnya kawan, tak lebih. Batinku berkecamuk dalam keraguan.
"Sudahlah, aku tak mengapa. Kau tahu itu. Kita tak pernah menjalin kasih atau apapun namanya. Kita hanya berteman tak lebih".
"Tapi aku sungguh menyukaimu. Aku tak berbohong".
"Ya baiklah, terimakasih sudah mengagumiku hingga sejauh itu. Takdir tak pernah salah. Kita dipertemukan dalam keadaan yang sangat tak menguntungkan buatmu. Kau pun tahu itu. Sudahlah, jalan kita memang berbeda. Semoga kau bahagia dengannya hingga ajal memisahkan kalian berdua". Tak kuasa aku menahan airmata yang sedari tadi memaksa menyeruak keluar. Ia hanya diam. Sorot matanya menandakan ketulusan itu ada untukku. Tapi apalah daya, hari bahagia itu tinggal menghitung hari. 
"Aku sungguh-sungguh menyesal, aku minta maaf". Ungkapnya seraya menundukkan kepala. Lagi-lagi aku tersenyum. Mencoba menegaskan keadaan, juga perasaanku yang memang tak ada untuknya selain perasaan sebagai teman dan sahabat. 
"Sudah, sudah. Tak usah berlebihan. Kau lelaki. Jangan cengeng. Kau dan dia sudah digariskan bersama. Jadi aku tak berhak merusak meski bukan aku yang memulai ini, kan ? Kembalilah. Lupakan rasa sesaat yang hinggap dalam hatimu itu. Aku tahu, hatimu tak pernah berbohong. Hanya saja memang dia yang paling utama saat ini untukmu". Jawabku sambil berdiri dan hendak pergi. 
"Ya sudah kalau begitu, aku harus kembali. Jam istirahatku sudah hampir habis. Semoga kelak kau bahagia bersamanya. Jangan sesali yang pernah terjadi karena ia takkan mengubah apapun. Ayo bangkit. Kau pun harus segera kembali". Aku mengulurkan tangan. Dia menyambut uluran tanganku. Kami berjabatan, matanya menatapku tajam sesaat. Seolah mencari kejujuran yang tersembunyi dari diriku. 
Aku lantas memalingkan wajah ke arah jalanan dan berusaha melepaskan genggaman tangannya yang kuat sedari tadi. Aku tersenyum kembali dan perlahan melepaskan keduanya. 
Aku berlalu meninggalkannya yang masih terdiam disana. 

Hari terakhir sebelum pernikahannya dengan dia. Aku mencoba menghapus semua tawa yang pernah dilalui bersamanya. Pertemuan singkat bagiku. Hingga hari-hari berlalu, ku sadari kehilangan itu membuatku harus jujur. Jujur pada angin yang pergi tak kembali. Aku menyukainya. Keterlambatan yang tak berarti. Hingga kini, sesekali menyapaku dalam kerinduan. Rindu yang kini tak bertuan.

Komentar

  1. inspiring! penggambarannya bagus, aku suka ^^

    BalasHapus
  2. Hhhh... spechless.. emosinya dapet banget. Ditunggu karya berikutnya ya, mba Syam.

    BalasHapus
  3. Ini cerpen apa pengalaman pribadi?kok aq serasa ngalamin sendiri gituu..bener kata mb vinny,emosinya dapet.
    I like this post

    BalasHapus
  4. Kata katanya sangat mendalam...penuh penggambaran emosi, hingga berasa aku ada disana menyaksikan ...keren

    BalasHapus
  5. Aku suka segala jenis hujan, kecuali yang turun dari langit matamu, syam :)

    BalasHapus
  6. Jd pengen Belajar nulis cerpen,,,

    BalasHapus
  7. cuma bisa bilang maaf kan akhirnya... ter-la-lu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu Terakhir di Februari

Anggrek dan Nadia