Anggrek dan Nadia

Fajar mulai beranjak naik. Perlahan tapi pasti. Bersinar diujung timur. Kemerahan. Langit seketika mulai benderang. Warna kebiruan mulai nampak menghias pandangan. Hawa sejuk mulai menyapa. Membelai lembut dedaunan yang masih basah oleh embun pagi. Kicau burung samar-samar terdengar dari kejauhan. Suara gemericik air tak kalah indah. Seperti melodi pengawal hari yang dimainkan penuh harmoni.

Aku hanya menarik nafas panjang. Beruntungnya aku pagi ini, mampu menikmati pemandangan lukisan Tuhan yang tercipta begitu sempurna. Tanpa kurang sedikit pun. Cahaya dari bintang-bintang malam mulai berpendar terbias oleh terangnya fajar. Bulan sabit ditepi barat masih nampak meski terlihat seperti terbuat dari kapas. Waktu bergulir perlahan. Detik demi detik seperti telah diatur untuk berputar perlahan. Mengimbangi harmoni yang sedang dimainkan oleh alam ini. 

Ku rentangkan kedua tangan perlahan. Senyumku mengembang. Kedua mataku ku pejamkan untuk menikmati udara pagi ini. Ingin ku ingat memori indah ini saat aku kembali nanti. Aku ingin kembali dengan semangat baru yang ditularkan dari alam ini saat pulang nanti. 

“Hayoooo, ngapain pagi-pagi disini ?” Suara seseorang mengagetkanku dari belakang. Aku mengenal suara ini. Aku terkejt bukan main. Aduh gimana ini, aku mendadak salah tingkah. Andai ada cermin disini pasti wajah ku memerah seperti kepiting rebus. Tiba-tiba tubuhku kaku. Lidah ku kelu. Aku hanya terdiam membisu. Ku lirik ke sebelah kanan dan dia sudah berdiri tepat di sampingku. Ah apa ini. Aku menggeser beberapa langkah darinya dengan sedikit gusar. Ku coba lantunkan senyum dan menghadap ke arahnya. 

Ku dapati senyum manis dari lelaki terjutek yang ku kenal. Cahaya matahari menerpa wajahnya yang berkulit agak gelap. Ia merentangkan tangannya seperti yang kulakukan tadi. Matanya terpejam membuat lentik bulu matanya terlihat cukup jelas. Tak sadar aku memandanginya selama ini. 

“Halloooo”. Ia melambaikan tangannya di depan wajahku. 

“Ah, eh, engga engga. Kenapa ?” Oh malunya aku. Langsung ku balikkan badanku menghadap ke arah perkebunan teh yang terhampar luas nan hijau disana. Ku dengar dia tertawa geli melihat tingkahku yang semakin salah tingkah. Aku hanya tertawa gusar menanggapi tingkahku sendiri. 

Seketika hening. Hanya ada suara alam yang bersahutan. Tetapi ada yang salah sepertinya. Jantungku berdegup tak karuan. Ah entahlah, seketika ku lirik ia yang masih ada di samping ku. “Banyak pelajaran yang bisa di ambil dari alam di sekitar kita”. Ia membuka suara. Tak ku mengerti apa yang dimaksudnya. Aku hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Ia melanjutkan ceritanya.

“Jangan kaku gitu sama aku. Aku udah cukup lama mengamati kamu. Keliatannya kamu asik  juga orangnya. Ya meski keliatan agak sedikit gila”. Tambahnya tanpa ekspresi.

“Hah ?” Aku sontak kaget mendengar pernyataannya. Pertanyaan mulai berkecamuk mengelilingi pikiranku. Kok bisa, kok bisa, dan sekian banyak pertanyaan yang diawali dengan kata “kok bisa ?” 
“Belum pernah aku liat cewe aneh kaya kamu. Kamu tau bunga anggek ?” Tanyanya sedikit mengagetkan lamunanku.

“Ah, iya tau, ada apa dengan anggrek ?” tanyaku dengan ekspresi heran.

“Aku pernah liat kamu nangis di belakang musholla sekolah. Engga lama sih, cuma setelah itu aku liat ada temenmu yang manggil kamu dan dia juga sepertinya punya masalah. Tapi kamu malah dengerin dia curhat, padahal kamu juga saat itu pasti punya masalah berat sampe harus nangis disana. Kamu bisa kasih pelukan hangat sama temenmu itu padahal hati kamu juga seperti sedang teriris. Maaf bukan aku sok tau sama hidup kamu. Aku juga pernah engga sengaja lewat depan rumahmu, dan disana aku lihat sesuatu yang cukup buatku kaget. Maaf sebelumnya. Aku liat disana kamu dimarahi dan dicaci maki sama wanita itu. Kalo boleh tau dia itu siapa ?” tanyanya seraya melirik ke arahku. Aku hanya terdiam menanggapi semua pernyatannya. 

Aku membalasnya dengan senyum. Tak ku sangka lelaki dingin ini akan berbicara hal ini terhadapku. Awalnya aku ingin lari saja untuk menghindari obrolan ini dengannya. Tapi entah mengapa, ada rasa yang menahan ku untuk tetap tinggal disana. Di sisinya. Aku ingin menumpahkan semuanya. Ku coba atur napas perlahan-lahan. Kebekuan ini perlahan mencair. Ku mulai semua dengan helaan napas.

“Ko senyum Nad ?” tanyanya keheranan.

“Dia itu Ibu tiriku”. Jawabku dengan nada rendah menahan gundah. 

“Ooh gitu. Maaf Nad aku engga bermaksud menyinggung soal ini”. 

“Engga apa-apa kok. Wajar kamu nanya. Eh ya tadi kamu tanya soal bunga anggrek. Ko engga dilanjutin ?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan ini. 

“Kamu itu kaya bunga anggrek”. Balasnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.

“Ko aku ? Memang kenapa antara aku dan bunga anggrek ?” 

“Iya anggrek. Anggrek yang warnanya putih. Menurutku anggrek itu sama dengan kepribadian kamu Nad. Dia punya warna yang indah,  ada kelembutan untuk siapa saja yang memandangnya, juga kepolosan sama seperti yang ada dalam dirimu, dan ia melambangkan kebaikan, seperti kamu yang selalu menebar kebaikan dimana pun dan dalam keadaan apapun dirimu”. Jelasnya panjang lebar.

Aku hanya terdiam. “Dan aku suka sama si anggrek yang ada dihadapanku”. Kalimat terakhirnya sebelum ia berlalu meninggalkan aku sendirian dalam seribu pertanyaan. Dan seketika aku tersadar dari diamku. Aku balikkan tubuhku dan ku lihat ia disana dengan senyum mengembang yang pernah kulihat dari sisi lain dirinya. 

***

“Permisi Mba, ada yang bisa saya bantu ?” Sapa seseorang dari dalam toko. Terlihat seorang lelaki paruh baya dengan kaos hijau tua dengan rambut yang sudah mulai memutih keluar menghampiriku yang sedari tadi berdiri tepat di depan tanaman anggrek berwarna putih. “Oh iya pak, saya mau tanya harga anggrek yang ini berapa ya ?” tanyaku sambil menunjuk tanaman anggrek dalam pot yang berukuran tinggi sedang dengan beberapa kelopak bunganya yang cantik dan putih tentunya.  Lelaki itu tersenyum terhadapku seraya berkata “Yang itu harganya 85 ribu mba”. 

“Ooh baiklah saya ambil satu pot ya pak”. Kataku sambil merogoh tas ku untuk mengambil uang. 

“Permisi pak, saya juga ambil bunga yang disebelahnya pak”. Suara seseorang dari belakangku. 

Ketika ku balikkan badan... 

Lelaki bertubuh tegap dengan setelan kemeja berwarna abu-abu lengan panjang dengan perpaduan celana panjang hitam yang terlihat rapi. Sepatu hitam yang cukup mengkilau. Dengan tas hitam gendong menempel di punggungnya. Mimpikah ini ? Aku mengedipkan mataku berulang kali menyaksikan sosok jangkung di hadapanku. Rupanya ia juga cukup kaget melihatku. 

“Nadia”.

“Ahmad”.

Kami bersamaan menyapa nama satu sama lain. Ia tersenyum ke arah ku. Ku balas senyumnya. Ia terlihat salah tingkah, begitu juga aku. Kami sama-sama tersipu malu. 

“Ini mba bunga anggreknya. Ini punya masnya juga”. Lelaki penjual bunga itu keluar membawa dua bungkus anggrek yang sama. Satu untuk ku dan satu untuk Ahmad. Membuat kami berdua jadi terlihat gusar dan agak sedikit canggung. 

“Kamu beli anggrek juga ?” Tanya Ahmad mencoba mencairkan suasana. 

“Iya, kamu juga ?” Balasku dengan pertanyaan yang sama. Kami lalu tersenyum bersamaan. 

“Dan aku masih tetap menyukai anggrek dihadapanku”. Mulut Ahmad mengucapkan sesuatu yang terdengar samar saat suara bising kendaraan melintas di jalan di hadapan kami. Aku pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkannya. “Kenapa Mad ?” tanyaku sambil tersipu malu. Dan ia mengulangi kalimatnya lagi tepat beberapa langkah dari hadapanku. 

“Dan aku masih tetap menyukai anggrek dihadapanku”. Ungkapnya dengan senyum yang sangat menawan. 

Senja yang sangat indah di jalanan Kota Bogor yang padat dengan angkot-angkotnya yang berlalu lalang. Matahari mulai bergulir menuju peraduannya. Meninggalkan dua insan yang ditumbuhi bunga-bunga cinta. Dewi-dewi cinta seperti turun menemani mereka melewati senja. Memanah dua hati yang sudah sekian lama terpisah dan tak tau kabar antar keduanya. 

Anggrek yang mendekatkan Ahmad dan Nadia 7 tahun lalu saat hari terakhir perpisahan sekolah keduanya di kawasan Puncak. Dan kini anggrek mempertemukan mereka kembali dalam rasa yang masih sama dari Ahmad untuk Nadia dan sebaliknya. 

Senja membius keduanya dalam memori masa lalu. Membawa keduanya pada mimpi yang hampir pupus. 7 tahun pencarian Ahmad dan Nadia akhirnya dipertemukan oleh anggrek. Penantian keduanya seperti penantian mekarnya bunga anggrek. Lama dan penuh liku. Namun selalu indah pada akhirnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu Terakhir di Februari

Sisa Hujan Semalam