Cahaya Di Atas Luka

Hanya sebaris luka.Hanya setetes air mata. Hanya sebatas duka. Menyayat kalbu. Merintih pilu. Menahan malu.Aku dengan hidupku, tak ingin orang lain tau. Biar saja menjadi rahasia antara aku dan Tuhan ku.


Masa lalu memberikannya kekuatan untuk terus bangkit. Meski jalan hidup ini penuh liku. Tidak seperti kertas putih yang suci belum ternoda oleh goresan tinta hitam.


Pertikaian orang tua, keadaan ekonomi yang menghimpit hidup, sudah menjadi pengalaman pahit untuk seorang anak gadis yang masih duduk di bangku SMP kelas 3 ini. Masa yang seharusnya indah dan penuh canda tawa malah menjadi kenangan pedih yang harus dialaminya. Keadaan memaksa pikirannya untuk dewasa lebih cepat. Sebagai anak sulung, Ia harus bisa melewati ujian ini meski usianya saat itu masih belia. Senyum-senyum palsu menjadi tameng untuk menutupi luka yang menyayat hatinya.


Pertanyaan-pertanyaan mulai hadir dan berkecamuk didalam pikirannya. Mengapa begini ? Mengapa harus kulalui semua ini ? Mengapa Tuhan begitu tega membiarkanku melewati masa ini ? Tak sayangkah Tuhan kepadaku ?


Meski hidupnya dalam lingkungan yang serba pas-pasan, bahkan kadang sering mengalami kekurangan, tetapi Ibu tak pernah berhenti berjuang untuk menghidupi kami sekeluarga. Oh tentu tidak termasuk Bapak. Aku bahkan benci menyebut namanya. Aku tak pernah ingin memandang wajahnya.


Bapak yang memberikan semua kesengsaraan ini untuk Ibu. Aku benci Bapak. Batinnya kesal penuh amarah. Sebagai seorang anak perempuan tentu Ia memiliki perasaan yang begitu peka terhadap lingkungan. Terlebih lingkungan didalam keluarganya.


Ia terlahir sebagai anak sulung dan memiliki satu adik perempuan serta satu adik laki-laki. Mereka tinggal disebuah rumah kecil, dengan satu ruang tamu, lebih tepatnya ruang depan, satu ruang kamar tidur dan satu ruang dapur. Tak ada kamar mandi. Ya. Sehari-harinya untuk mandi, mencuci dan lainnya dilakukan dengan menumpang dirumah saudara. Masih beruntung mereka memiliki saudara-saudara yang berbaik hati. Meski keadaan mereka tak berbeda jauh dengan yang mereka alami.


Laila namanya. Gadis sederhana yang selalu bermimpi menjadi seorang yang sukses dan menjadi orang besar. Tetapi, keadaan hidup yang dialaminya kini, membuatnya harus mengubur dalam-dalam seluruh mimpi dan cita-citanya. Hari-harinya tak berbeda jauh seperti gadis remaja pada umumnya. Meski Ia berasal dari keluarga sederhana, tetapi ia tetap memiliki semangat untuk berlajar.


"Bu, Laila belum punya LKS bahasa inggris. Dan besok harus dipake Bu". Pintanya suatu malam selepas maghrib. "Ya udah, bareng aja dulu belajarnya sama temenmu yang sebangku. Bilang aja sama gurunya kalo kamu belum punya. nanti Ibu usahakan ya untuk beli buku". Jawab Ibu dengan penuh ketenangan. Laila tau bahwa sulit untuknya mendapatkan apa yang diinginkannya, meskipun itu hanya sekedar untuk membeli buku yang harganya lumayan murah. Sebenarnya Laila paham betul kondisi ekonomi keluarganya. Sebab itu Laila dengan berat hati menungkapkan keinginannya untuk membeli buku. Karena Laila tau, ini hanya akan menambah beban pikiran ibunya, yang hanya seorang buruh cuci dari rumah ke rumah.


"Coba aja Bapak kerja bu, kita engga akan susah gini jadinya. Laila benci Bu sama Bapak. Dia cuma numpang hidup disini. Aku benci Bapak, Bu !" balas Laila dengan nada penuh kesal. Tak terasa air matanya meleleh.Ibu yang mendengarnya seraya membalas, "Hush, jangan ngomong gitu kamu, La. Biar bagaimana pun, dia itu Bapak mu. Kita harus hormati dia. Karena suatu saat nanti dia yang akan menjadi wali untuk menikahkanmu. Biar saja dia mau seperti apa. Asal jangan kita yang menjadi seperti dia. Do'akan saja bapak mu agar kembali menjadi Bapak mu yang dulu. Jangan berhenti berdo'a ya, La. Allah engga pernah tidur ko". Jawaban Ibu sontak membuat air matanya mengalir deras.


Mengapa Ibu begitu kuat menghadapi keadaan ini ?Mengapa Ibu begitu tangguh menjalani semua ini ?Pertanyaan Laila masih belum menemukan jawaban.


Laila tau, Ibu menangis dalam setiap sujudnya. Ibu merintih kesakitan dalam setiap do'anya. Ibu menangis. Ibu menangis. Air matanya meninggalkan bekas di kulit wajahnya yang kuning langsat. Meski Ibu selalu mengelak kala Laila mencoba mencari tau kepedihannya, tetapi memang Laila mengerti dengan sendirinya segala keadaann ini. Wajahnya yang mulai renta dimakan usia. Tenaganya yang mulai layu dimakan waktu. Dan hatinya yang begitu rapuh diterjang kasar oleh ombak-ombak kehidupan. Belum lagi desas-desus para tetangga yang terkadang membuat Laila geram mendengarnya. Bapaknya beginilah, begitulah. "Bagaimana Bu Sari bisa melihat kelakuan suaminya yang begitu tega membiarkannya banting tulang sendirian mencari nafkah, sedangkan ia hanya bersenang-senang dengan hobinya memancing. Sehingga ia begitu lalai terhadap nafkah keluarganya ?" suatu waktu Laila mendengar obrolan ini yang berasal dari beberapa Ibu-ibu yang sedang menggosip disebrang rumahnya. Laila hanya bisa menahan semua amarahnya terhadap Bapak yang setiap hari hanya memancing dan memancing. Laila benci Bapak. Teriaknya dalam hati penuh emosi. Tak terasa kesal itu membuat air matanya tumpah menahan segala amarah.


Maafkan Laila, Bu. Laila belum mampu menghilangkan kebencian ini untuk Bapak.


Ibu begitu tegar, melebihi tegarnya karang dilautan yang selalu diterjang ombak. Ibu begitu kuat, melebihi kokohnya gunung yang suatu saat bisa meletus, menumpahkan segala isi dari perut bumi yang ada didalamnya. Cahaya terpancar dari hatinya. Tulus. Ikhlas. Sabar. Luka yang setiap hari menggoresnya perlahan-lahan, seolah lenyap seperti ditelan hujan yang datang dimusim kemarau.Senyumnya tak pernah hilang. Meski sorot matanya menggambarkan luka yang teramat dalam.


Laila mencoba seperti Ibu. Laila belajar dari Ibu. Meski Ibu tak pernah mengajarinya untuk itu, tetapi Laila ingin seperti Ibu. Perlahan, Ia hapus rasa benci ini untuk Bapak. Menyakitkan. Butuh waktu dan pengorbanan untuk menghapus kebencian ini.


Tapi cahaya yang hadir dari hati Ibu, membuat Laila berani menerjang segala resiko yang akan dirasakannya.


Cahaya dari luka Ibu akan menjadi kekuatannya untuk bisa bangkit berdiri melawan segala lika-liku hidup. Dan membawa Ibu pada kebahagiaan sejati. Itu tekad Laila, Bu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu Terakhir di Februari

Sisa Hujan Semalam

Anggrek dan Nadia